Minggu, 13 Oktober 2019

Kepada Siapakah Hatiku di Peruntukkan



  
Kepada Siapakah Hatiku diperuntukkan?
Jika ada orang yang selalu memperhatikanmu,
 apakah pantas kamu menaruh hati padanya?
                        Kini aku sudah memasuki usia yang sudah meranjak dewasa, berpikir jauh untuk ke depannya tentang apa yang pantas untuk aku lakukan kedepannya. Aisyah Permata Sari, salah satu mahasiswa di Universitas Indonesia dengan jurusan Pendidikan Anak Usia Dini. Aku sangat menyukai anak kecil, sangat menggemaskan dan sangat mudah diatur, hanya saja kesabaran harus tetap terjaga dan stabil emosi yang selalu terkontrol baik. Banyak sekali orang yang meremehkan jurusan yang satu ini karna tidak mendapatkan gaji yang besar, pemikiran mereka harus diubah, mereka harus tau bahwa guru itu adalah pembimbing, jasanya tak ada batasnya dan tak akan pernah memandang suatu nilai dari banyak dan sedikitnya. Persepsi masyarakat sudah terlalu jauh melampaui kehendaknya sendiri. Ayahku seorang tentara dan jarang pulang, sekali pulang aku tak pernah melewatkan untuk tidak berbicara banyak hal dengan Ayah, “Ayah, Aisyah kangen,” kataku sambil memeluknya erat. Karna aku adalah anak tunggal disini, tapi aku selalu merasa kurang kasih sayang dari kedua orang tuaku, mereka terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Ayah yang jarang pulang dan Bunda yang selalu pulang malam karna pekerjaannya di kantor bank.
“Aisyah, Ayah juga sangat kangen dengan putrinya ayah yang satu ini. Bagaimana kuliahnya, tidak ada gejala apapunkan? Karna ayah tidak bisa memantau kegiatanmu setiap hari, Ayah sibuk bekerja.” kata Ayahku sambil menunduk dan menggenggam tanganku.
“Ayah jangan khawatir, semuanya baik-baik saja, jika ada sesuatu pasti Aisyah akan menelpon Ayah. Aku juga tidak takut kepada siapapun, bunda dan ayah selalu mengajariku tentang yang paling harus kita takutkan adalah hanya pencipta kita, yaitu Allah Swt. Ya kan, yah?” kataku sambil membalas tangan ayah.
            Mereka berdua adalah madrasah pertama yang mengajariku tentang agama, mana yang baik dan yang benar. Sungguh, bagaimanakah akan aku ucapkan rasa syukurku kepadanya. Ini sudah dari cukup, aku hanya perlu bersyukur dan menjalani seperti apa yang engkau skenariokan.
“Putri ayah sudah besar sekarang, tambah cantik dengan balutan jilbab yang kamu kenakan sekarang. Betapa bersyukurnya aku diberi anak yang baik lagi penurut kepada orang tuanya. Terima kasih anakku karna sudah tumbuh menjadi seseorang yang bapak banggakan. Kapan mau tidur, sudah jam 10.30, besok mau pergi ngajarkan ke panti asuhan?” disanjung seperti itu membuatku tidak tahanan menitikkan air mata mendengar ayah yang bicara begitu. Aku juga bersyukur sudah menjadi anak ayah dan bunda.”
“Baiklah ayah, Aisyah tidur dulu. Ayah, tetap jaga kesehatannya, makan yang teratur, dan Aisyah sayang Ayah dan Bunda.” pamitku, setelah mencium mereka berdua dan memeluknya erat sebelum pergi ke kamar. Malam yang panjang bersama orang yang tersayang, cukup hadirkan saja orang tuaku maka aku akan sangat bahagia meski hanya beberapa jam.
            Matahari  hari pagi sudah menyembur dari peristirahatnnya. Kuning bercampur langit yang biru memang sangat sepadan untuk menggambarkan bagaimana indahnya langit. Subuh tadi, ayah sudah berangkat kembali ke Jombang untuk melakukan tugasnya sebagai tentara penjaga perbatasan. Kini hanya kami bertiga bersama bunda dan bibik Imah, pekerja rumah tangga di rumah ini. Dia juga yang selalu menemaniku disaat aku sendiri, terkadang juga temanku Nia Armadani dan Sela Pratista sering berkunjung ke sini untuk sekedar numpang tidur dan makan disini sehabis itu pergi. Jika bunda sempat masak, maka biasanya bunda yang selalu membuatkan nasi goreng. Sebenarnya aku juga bisa masak, tapi jarang aku lakukan kecuali hari minggu, biasanya aku belajar dengan bibik Imah cara memasak. Bunda datang dari kamarnya sambil menguap, “Bunda, mari sarapan bareng.” Dia hanya mengangguk dan duduk.
            Dia bertanya, “Mau ngajar les hari ini?”        
            “Iya bunda, seperti biasa jika hari kamis maka Aisyah akan pergi ngajar ke panti asuhan, karna disana masih kekurangan guru pengajar.” Jelasku
            “Iya, nak.” Jawabnya seadanya, mungkin bunda kelelahan darii suaranya saja yang parau karna kurang tidur. Aku sempat merasa kasihan dengan bunda, ingin sekali melihat bundaa diam di rumah saja tanpa kerja, karna sudah ada ayah yang bekerja. Tapi, sudah aku tanyakan semuanya kepada bunda, namun ia selalu menjawab, “Bunda tidak bisa berhenti, ini juga sebagai biaya kuliahmu untuk ke depannya, kita tidak harus mengandalkan ayahmu saja. Bunda juga masih sehat dan masih punya tenaga yang banyak untuk bekerja, Aisyah mengertilah ini semua untukmu, nak.”
            Haruskah aku selalu diam, kadang aku juga membutuhkan kasih sayang kalian. Tapi kalian terlalu sibuk dengan pekerjaan kalian masing-masing. Aku sangat pandai menyembunyikan  masalah jika memang sudah kuat aku akan menangis di dalam kamar mandi sendiri, agar bibik Imah tidak mendengar suara tangisku. Selalu merutuki diri sendiri adalah hal yang selalu aku lakukan. Lama-kelamaan aku mulai terbiasa dengan kehadiran kalian di rumah ini meski aku menginginkan kalian ada untukku setiap saat.
“Bunda, Aisyah berangat mengajar dulu,ya” Pamitku, setelah selesai sarapan.
“Iya Aisyah, jangan pulang terlambat.” Katanya sambil mencium kedua pipiku.
            Jalanan pagi ini cukup ramai, karena kegiatan mengajar masih berlangsung sampai sabtu. Banyak mobil dan orang yang berlalu lalang di jalanan, mereka terlihat sibuk dengan urusannya masing-masing. Sudah beberapa menit aku menunggu di termina menungu angkutan umum datang, namun masih belum kelihatan. Tiba-tiba ada sebuah mobil bewarna merah berhenti tepat di depan tempat aku berdiri. Dia membuka kaca mobilnya sambil berkata, “Aisyah ya? Ayo ikut. Mau ke pergi ke panti asuhan kan buat mengajar.” Tawarnya, aku cukup terkejut karna dia tau aku mau kemana. Bukannya menjawab tapi aku menanya balik, “Siapa ya, dari mana kamu tau saya mau pergii ke panti asuhan?”
            Dia hanya tersenyum sambil mengulurkan tangannya, “Saya Letna, salah satu pengasuh juga di panti asuhan tersebut. Saya sering melihat amu disana, makanya sekarang saya tau kalau kamu juga salah satu pengajar disana.” Jelasnya. “Jadi ikutkan?” lanjutnya
            Aku diam sejenak memikirkan apakah aku akan ikut dengannya karna melihat kondisi yang begitu ramai dan kendaraan yang sulit untuk bisa pergi kesana. Ada baiknya juga kalau aku ikut, dia juga kelihatan seperti orang baik dan tidak akan berbuat yang tidak-tidak.
“Tapi tidak apa-apa jika saya ikut? Apakah itu tidak mengganggu, hanya kita berdua di dalam mobil ini,” jawabku
            Dia meyakinkan aku agar tidak usah khawatir tentang hal itu, “Saya tidak akan berbuat macam-macam dengan kamu, niat saya hanya member tumpangan saja. Ayok naik.” Suruhnya.
            Akhirnya aku diantarkan oleh Letna ke panti asuhan. Di dalam mobil, kami hanya diam saja karna tidak tau harus bicara apa. Untung saja dia bisa peka kalau aku tidak nyaman dengan kondisi diam seperti ini. “Kamu ambil jurusan PGSD di Universitas Indonesia, kan?” Tanyanya.
Aku menjawab “Iya, darimana kamu tau?”
“Saya sering melihat kamu di Fakultas tersebut. Saya juga salah satu mahasiswa disana namun dengan jurusan yang berbeda, saya di jurusan Teknik. Kita satu atap namun ta pernah saling melihat maupuun saling menyapa.” Katanya
Banyak sekali hal yang kami bicarakan selama perjalanan ke panti asuhan. Tanggapan pertamaku terhadapnya adalah dia ramah dan asyik dilawan bicara.
            Ketika sedang mengajar tiba-tiba handphoneku berbunyi yang menandakan adanya panggilan masuk, ternyata itu dari temanku yaitu Sela. Tumben dia nelpon, biasanya kalau ada sesuatu langsung ke rumah dan cerita. Daripada memikirkan itu semua leih baik aku angkat telponnya terlebih dahulu, pikirku.
“Assalamu’alaikum Sela, ada apa?” sapaku dibalik telpon
“Wa’alaikumussalam Aisyah, kamu lagi dimana sekarang? Ada berita buruk yang terjadi pada Nia.” Katanya
“Innalillah, apa yang terjadi, coba jelaskan sedetail-detailnya agar aku tidak berfikir terlalu jauh.” Sanggahku, karna aku terlalu terkejut mendengarkan berita itu.
“Nia kecelakaan ketika pergi liburan bersama pacarnya, sekarang kami sedang di rumah sakit Pelita. Kondisi Nia tidak terlalu parah, tapi dia tidak sadarkan diri dari tadi, kemungkinan dia syok.” jelasnya. “Cepat kesini ya, Aisyah. Aku akn menunggumu.” sambungnya.
            Sudah aku duga pasti akan terjadi hal-hal yang seperti ini ketika kita sebagai wanita tidak bisa menjaga martabat kita sendiri di depan laki-laki, sudah berapa kali aku memeringati Nia agar tidak pacaran, namun semua perkataanku tak pernah sama sekali dia gubris. Dia hanya megangguk dan bergumam tak jelas saat aku memperingatinya.
            Setelah izin kepada pembina panti asuhan, aku langsung mencari ojek untuk pergi ke rumah sakit. Saat ini aku sungguh panik, karna Sela dan Nia sudh aku anggap seperti keluargaku sendiri. Aku sungguh takut jika terjadi sesuatu pada Nia. Sebelum ke sini aku sudah menelpon bunda, bahwa aku akan terlambat pulang karena Nia sedang dirawat di rumah sakit, untunglah bunda bisa mengerti, karna bunda juga tau kalau Nia adalah temanku yang sering datang ke rumah dan menemaniku jika bunda sedang sangat sibuk di kantornya. Kat bunda juga di akan menyusul nanti kalau pekerjaannya sudaah selesai.
            Sesampai di rumah sakit, aku langsung berlari dan mencari Sela. Untung saja Sela sudah mengirimkan detail tempatnya sekarang. Aku melihat Sela dan Ibunya Nia saling berpelukkan. Aku tau kalau sekarang ibunya Nia akan sangat khawatir tentang keadaaan anaknya yang sedang berjuang melawan rasa sakit dan takdir di dalam ruang UGD.
“Assalamu’alaikum. Bagaimana keadaan Nia, Sela? Apakah ada perkembangan?” Tanyaku setelah tiba disana.
            Sela melirikku dan hanya menjawab salam, tanpa menjawab pertanyaanku. Sungguh saat itu, suasana sangat tidak mendukung. Yang terdengar hanya suara isak tangis dari ibunya Nia. Aku tau bagaimana perasaan ibu Nia sekarang. Aku tak bisa bertanya terlalu jauh karna sungguh ini tidak mendukung untuk melibatkan pertanyaan yang aku keluarkan. Untuk saat ini, kami masih menunggu dokter keluar dari ruangan untuk member tau kondisi Nia yang sebenarnya.
            Tidak terasa 10 menit lebih kami menunggu dokter keluar. Akhirnya, dokter keluar dan memberitau informasi terkini tentang kondisi Nia.
“Apakah kalian keluarga pasien?” tanyanya setelah keluar dari ruangan. Kami hanya mengangguk, “Begini, tentang kondisi pasien. Dia tidak terlalu parah hanya saja terjadi pendarahan di bagian kepala. Dia juga syok sesaat sehingga dia masih tidak sadarkan diri sampai sekarang. Tunggu saja, beberapa menit pasti dia akan sadar.” Jelasnya kepada kami
Aku bertanya,”Dokter, apakah boleh kita masuk ke dalam melihat kondisinya?”
“Iya silahkan saja. Tapi, pasien akan dipindahkan terlebih dahulu ke ruang perawatan agar mudah di jenguk oleh siapapun.” Jawabnya, setelah itu dia permisi untuk mengurus pasien lain.
            Setelah beberapa jam kemudian, Nia membuka matanya. Lantas itu membuat kita berdua menghampirinya. Karna ibunya Nia sedang pulang untuk mengambil beberapa pakaian untuk beberapa hari menginap disana.
            Setelah beberapa hari Nia di rumah sakit, biasanya sepulang kuliah aku selalu menjenguknya. Setiap hari kondisi Nia semakin membaik dan hari ini kata dokter Nia boleh dipulangkan. Aku, Sela, dan ibunya merapikan barang-barang yang akan dibawa pulang.
            Setelah sampai di rumahnya Nia, kami beristirahat sejenak karna perjalanan jauh yang ditempuh dari rumah sakit ke rumah ini.
            “Kalian mau minum apa?” tawar ibu
            Kami terbangun dari sofa di balik ruang tamu rumah Nia, “Tidak usah ibu, nanti kami ambil sendiri jika sedang ingin minum.”
            Jam telah menunjukan 10.30, aku izin pamit duluan ke ibunya Nia karna ada kelas mengajar di panti asuhan. Dengan berat hati aku meninggalkan Nia, padahal aku sangat ingin lebih banyak menghabiskan waktu di rumah Nia dan berbagi banyak cerita dengan Sela dan Nia.
            Aku lupa bahwa ada sesuatu hal yang tak pernah aku ceritakan kemereka berdua yaitu masalah tentang akhir-akhir ini aku dekat dengan salah satu pengajar di panti asuhan, yaitu Letna. Begitu banyak hal yang ingin aku pastikan, bahwa hatiku mulai nyaman dengan Letna. Aku tak yakin, aku takut menyalahi aturan di keluargaku sendiri karna dekat dengaan seorang yang bukan muhrimku.
            Aktifitas mengajar akhir-akhir ini sungguh sangat menyenangkan karna banyak sekali perkembangan dari adek-adek yang diperlihatkan. Bacaan Al-Qur’an sudah fasih, penghafalan perkalian sudah meningkat sampai perkalian lima, ini adalah awal yang bagus untuk menuju sempurna.
            Banyak sekali tugas yang diberikan oleh dosen, aku tak punya waktu luang untuk berbicara dengan orang terdekatku. Sepulang kuliah aku disibukkan dengan beberapa bacaan yang akan digunakan untuk presentasi besoknya. Aku mengambil cuti mengajar di panti asuhan karna aku tak kuat menahan lelah dan kantuk jika hal itu terjadi. Sepulang sekolah, aku hanya numpang makan dan tidur saja dirumah.Waktu tidurku begitu singkat rasanya
            Kali ini aku akan mengikuti kuis, sayangnya ada yang terjadi di kampus sebelah. Aksi laga fakultas hukum dan teknik tak henti-hentinya. Sudah banyak sekali fasilitas yang mereka rusak, tak pernah berfikir bahwa banyak sekali kerugian yang terjadi akibat ulah kedua fakultas tersebut.
            Pada saat kerusuhan terjadi, aku tak sengaja sedang jalan diantara mereka. Rasa takut, menghampiriku, aku terus saja berfikir bahwa aku tak akan selamat jika aku terus berada di tengah kerusuhan ini. Banyak sekali pecahan kaca, ban mobil yang terbakar, asap bertebaran dimana-mana. Sungguh hari yang menyebalkan.
            Seketika, ada sesuatu yang mengalir di bagian samping kepalaku, ternyata itu darah. Aku tak sadar jika aku terkena lemparan batu dari mahasiswa yang membuat kerusuhan. Diseperkian menitnya, ada yang menjanggal di pengelihatanku, kabur. Pusing menghantui kepala ini. Aku tak sadar siapa yang menolongku saat itu. Aku hanya mendengar ada yang memanggil namaku Aisyah...Aisyah...sadarlah.
            Perlahan matanya terbuka, Letna sungguh khawatir dengan kondisi Aisyah. Dia sungguh pucat layaknya mayit. Dan yang membuat Letna kesal dari tadi bahwa Fikri terus saja mengoceh tak jelas dan menyuruh Letna untuk meninggalkan Aisyah sendiri disini. Fahri ini adalah teman satu angkatan dengan Letna, dia adalah ketua geng dari kerusuhan yang terjadi. Untung saja, Aisyah tidak mengunci hp-nya jadi dengan mudah Letna dapat membuka dan menghubungi orang tua Aisyah. Ada nada ketakutan yang dikeluarkan dari suara ibunya Aisyah. Sungguh Aisyah adalah anak yang disayang oleh kedua oarng tuanya.
            “Aku dimana?” erangku. Yang pertama aku lihat setelah bangun adalah, warna putih yang mendominasi di sekitaran ruangan yang aku gunakan, lebih anehnya bau ini sudah tidak asing lagi dipeciumanku.
            “Kamu di rumah sakit, Aisyah. Tadi kamu pingsan dan kami bawa kesini. Kamu sudah agak baikan, ya?” tanya Letna.
            Aku tak berniat menjawab pertanyaannya, aku hanya mengangguk karna kepalaku saat ini sungguh pusing memikirkan sesuatu yang terjadi beberapa jam yang lalu.
            Sungguh bau rumah sakit membuatku muak untuk terus berlama-lama di sini. Beberapa jam yang lalu Bunda sudah ada disini menemaniku, dan yang lebih anehnya, Letna tidak pergi meski bunda ada disini. Mereka terlihat asyik berbicara, terdengar bahwa bunda sudah berapa kali mengucapkan terima kasih kepada Letna. Sebenarnya aku sedkit risih dengan kehadiran Letna yang berusaha dekat dengan orang tuaku.
            Dua hari satu malam aku berada di rumah sakit, akhirnya sore ini aku boleh pulang ke rumah. Menikmati bau rumah yang khas, masakan ibu yang enak, kasur yang empuk untuk tidur, memikirkannya saja membuatku sangat bahagia dengan enaknya di rumah. Rumah adalah syurga kasih sayang yang dititpkan pencipta kepadaku. Menyiapkan beberapa pakaian yang sudah digunakan selama di rumah sakit. Hari ini ayah juga mengambi cuti karna dia akan menjeputku bersama bunda di rumah sakit. Teman-temanku, Sela dan Nia selalu ada selama aku sakit, meskipun aku tau bahwaNia juga dalam kondisi yang kurang baik.
            “Akhirnya, bidadarinya keluar juga dari rumah sakit,” kata Sela setelah sampai di sini.
Aku hanya tersenyum malu mendengar perkataan Sela, karna dia sangat berlebihan. Selang beberapa menit ternyata, ayah menelpon bahwa dia tidak jadi menjemput karna ada rapat mendesak yng harus diikuti olehnya, karna pada hakikatnya ayah adalah seorang jenderal.
“Bunda, terus kita pulang sama siapa kalau ayah tidak jadi jemput?” tanyaku. Sungguh aku sedikit kecewa karna ayah tidak punya waktu untuk menemaniku hari ini. Ayah kemarin sempat menginap semalam disini, di malam itu juga aku bisa merasakan tidur dipangkuan ayah setelah sekian lama, setelah terbangunpun aku tak menemuka siapapun. Ayah pergi tanpa pamit terlebih dahulu kepadaku, tapi bunda sudah menjelaskan bahwa ayah ada kegiatan di posko.
Bunda terlihat sibuk dengan telponnya ketika aku tanya, setelah selesai dia sedikitpun tak menggubris keluh kesahku, saat ini sungguh aku seperti anak kecil. Di depan rumah sakit ternyata udah terpakir sebuah mobil yang tak asing bagiku, dan ternyata benar kalau itu mobilnya Letna. Ternyata ini yang disibukkan oleh bunda dari tadi, ternyata dia menghubungi  Letna untuk menjemput kami di rumah sakit.
Di dalam mobil, aku tak sedkitpun membuka mulut untuk berbicara meskipun kedua teman usilku ini selalu menyenggolku dengan siku-sikunya. Aku terus saja menunduk karna aku tau kalau Letna sedang memandangiu melalui kaca spion yang ditaruh untuk melihat kondisi mobil yang ada di belakang. Risih, rasa tak sukapun muncul untuk saat ini, meskipun aku mengagumi Letna sebenarnya, namun dipandang seintens itu siapa yang tidak risih dengan perbuatannya.
Akhirnya, kami bisa pulang dengan aman dan tidak terjadi kemancetan sama sekali di jalan. Syurgaku ada di sini, di rumahku sendiri. Di sini aku bisa bermonolog, melakukann segala hal yanng aku mau tanpa ada batasnya asalkan tidak berlebihan.
Tak ingin mengabiskan waktu terlalu lama di bawah, aku izin ke bunda kalau aku akan naik ke kamar dan berisitirahat sejenak. Tidak lupa Sela dan Nia juga ikut membimbingku ke kamar. Sudah aku duga kalau mereka berdua akan bertanya banyak tentang Letna, tentang gimana aku bisa bertemu dan kenal dengan Letna. Mereka berdua menambah banyak pikiran aku saja. Namun, bukan berarti aku tidak menjawab pertanyaan yang mereka lontarkan untukku karna rasa penasaran mereka terhadap sosok yang ada di lantai bawah sekarang dan sedang mengobrol dengan bunda di sana.
“Aisyah, bagaimana kamu bisa kenal dengan cowok seganteng dan sebaik dia,”
“Aisyah apakah sedikitpun kamu tidak merasakan bahwa dia menyukai kamu, aku melihatnya dari tatapannya ke kamu, ayoklah Aisyah jujur saja kami akan membantumu.”
“Perasaan aku pernah melihatnya, tapi dimana ya? Ah, itu tidak pentig yang penting sekarang penjelasan dari kamu.”
            Tak sedkitpun kalimat keluar dari mulutku karna mereka sungguh cerewet dan tak membiarkan aku menjawab pertanyaannya, padahal mereka sangat ingin tau apa ada hal sesuatu di balik semua ini.
“Sudah selesai bicara kalian berdua, padahal kalian berdua ingin tau, tapi seakan-akan kalian tau semuanya, kalian terlalu pintar berimajinasi terlalu jauh tentang semua ini, dengarkan aku baik- baik,” timpalku setelah mereka diam. Mereka tidak menjawab hanya mengangguk dan membenarkan tempat duduknya.
“Letna adalah salah satu guru juga yang mengajar di panti asuhan tempat aku mengajar. Aku kenal dia saat aku mau pergi mengajar ke panti asuhan, karna tidak ada ojek ataupun angkutan umum yang menuju kesana, tiba-tiba dia datang dan memanggil namaku, siapa yang tidak terkejut dengan itu, karna pada hakikatnya aku tak mengenal dia,” dengan susah payah dan panjang lebar aku jelaskan kepada mereka, namun mereka tetap saja berfikir seperti mindsetnya masing-masing. Untung teman, kalau tidak sudah aku buang ke laut.
            Syukurlah hari ini aku sudah bisa masuk kuliah seperti biasa. Aku sangat merindukan teman-teman di kelas, terutama keributan dari Sela dan Hito yang terus saja bertengkar masalah jodoh, Sela memang tipe orang yang mudah bergaul dengan siapapun, dia tak memandang ras dan apapun itu. Meskipun dia berbeda agama dengan kami berdua, dia tetap menghargai kami dan selalu mengingatkan kami waktu sholat. Bukankah ini yang namanya Toleransi? Kita terlalu naïf, hanya karna beda agama yang akan membuat kita tidak akur di Indonesia ini, karna kita tau kalau Indonesia adalah Negara yang memiliki lebih dari dua agama.
            Hari ini adalah hari terbaik, dimana kami menghabiskan banyak waktu bersama teman-teman. Makan bareng, menceritakan semua hal yang terjadi selama aku libur masuk kuliah, dan saling mengoda satu sama lain.
            Sepulang kuliah aku menyempatkan untuk berkunjung ke panti asuhan, jujur aku sangat merindukan tingkah dari adek-adek disana. Aku diantar oleh Sela kebetulan dia membawa mobil. Karna kondisiku masih belum begitu fit, aku tak bisa naik ojek. Tadi pagi saja, bunda yang mengantarku kuliah.
            Mereka sibuk bermain sehingga tidak menyadari kehadiranku disana, aku berniat menghampiri mereka, namun ternyata di balik tengah-tengah kerumunan mereka ada Fahri, seorang perusuh di kampus teknik. Aku tak menyadarinya kalau dia juga pencinta anak kecil, sungguh pengalaman yang langka bisa melihat Fahri seperti ini. Aku memang memiliki rasa antisipatif terhadap Fahri dan ingin membuatnya berubah seperti dulu lagi. Fahri adalah temanku saat aku SMA, dia adalah seorang yang pendiam dan ramah terhadap siapapun, entah apa yang membuat dia berubah secepat mata memejam.
            Aku menghampirinya dan mengucapkan salam,”Assalamu’alaikum, adek-adek?”
            Mereka menjawab dengan serempak dan menuju kesini, hanya untuk mencium tangan dan ada yang ingin dipeluk,”Kak Aisyah, kenapa lama sekali tidak masuk untuk  mengajarkan kami? Apa kondisi kak Aisyah sudah membaik, kami dengar kakak sakit? Kami sungguh merindukan kak Aisyah.” kata  Laudya. Dia adalah salah satu anak yang paling dekat denganku. Dia selalu menceritakan berbagai hal tentang kegiatannya ketika aku tidak masuk untuk mengajar, karna jadwal mengajarku disini hanya hari Kamis, Sabtu, dan Minggu. Aku menjawab setiap pertanyaan dari mereka dan mendengarkan mereka bercerita balik tentang aktifitasnya selama aku tidak masuk untuk mengajar. Aku tidak tau siapa yang mengganti posisiku untuk mengajar selama aku libur. Aku teringat Fahri yang masih berada di sana dan asyik bermain dengan anak-anak yang cowok, aku berfikir tidak mungkinkan Fahri yang mengantikan posisiku sementara untuk mengajar di sini.
“Oh iya..kak Aisyah mau bertanya nih sama kalian?” mereka terdiam dan menanti apa yang akan aku tanyakan, “Selama kakak tidak masuk, siapa yang menjadi guru pengganti kakak untuk mengajarkan kalian selama beberapa minggu ini?”
“Oh itu, kak Aisyah belum tau ya, kalau selama kakak tidak masuk kak Fahri lah yang mengantikan kakak. Dia orangnya baik dan tampan juga, kan teman-teman?” jawab Meli
Mereka menjawab secara bersamaan, mereka bilang kalau Fahri itu tampan, baik dan blalala. Sungguh mereka sangat menggemaskan. Ternyata pemikiranku salah telah menilai Fahri sampai sejauh itu. Inilah sebabnya kalau kita tidak boleh memandang seorang dari luarnya saja dan menjudge mereka seenak jidat kalian.
            Manusia diciptakan berbeda-beda, agar kita bisa saling menghargai satu sama lain. Kita juga tidak dapat hidup tanpa bantuan dari orang lain. Jangan pernah pikirkan ego semata yang akan membuat penyesalan di akhirnya. Aku harus minta maaf kepada Fahri karna sudah berburuk sangka kepadanya.
“Fahri, apa kamu punya waktu, aku ingin bicara.” aku benar-benar ingin meminta maaf kepadanya, jika dibiarkan maka aku akan terus merasa bersalah dan malu berada di depan Fahri meskipun dia tidak tau masalah ini. Dia tidak menjawab, hanya saja dia agak mejauh dari kerumunan anak-anak tadi.
“Apaan sih lo, ganggu saja, mau bicara apa?” sinisnya. Dia berubah menjadi dirinya sendiri jika bersama dengan orang yang dia kenal. Pintar sekali menyembunyikan topengnya..
“Kenapa kamu mengajar di panti asuhan ini, bukankah kamu tidak punya peri kemanusiaan sedikitpun terhadap siapapun? Namun, aku juga berterima kasih kepadamu karna sudah mau menggantikanku mengajar disini, meskipun sementara, lamapun tak apa.”
“Bukan urusan lo, mau gue ngajar di sini, dimanapun itu hak gue. Jangan terlalu banyak bertanya gue tidak suka membahas hal yang tidak penting” dia pergi begitu saja, meninggalkan aku sendiri disini yang masih penasaran tentang dirinya. Setelah beberapa langkah dia berbalik,”Jangan berterima kasih ini gue lakukan bukan untuk lo, Ingat ini.”aku hanya bengong mendengarkan kalimat terakhirnya. Ingin sekali rasanya, aku banting ke planet lain, karna dia sama sekali tidak pantas hidup di dunia ini.

Notebook:
            Aisyah andai kamu tau kalau aku mencintaimu, menyayangi kamu lebih dari diriku sendiri. Tapi, kenapa kamu tak pernah menoleh sedikitpun untuk menatap ke arahku. Ini sudah lama sekali terpendam, sampai kamu kembali lagi dikehidupanku. Sedikitpun kamu tidak berubah, kamu masih sama seperti dulu, baik dan penyayang anak kecil. Aku menyukai kamu yang penuh dengan kesederhanaan meskipun aku tau kalau kamu dari keluarga yang berada. Ingin sekali aku berteriak di depan mukamu kalau disini ada aku yang sedang menantimu, yang masih dengan rasa yang sama. Aku berubah karna kamu terlalu sulit untuk aku dapatkan. Berbagai cara untuk melupakanmu sudah aku lakukan Aisyah, namun sedikitpun tidak berhasil. Sekarang Fahri sedang duduk dibawah pohon rindang, untuk menenangkan pikirannya, karna dia sungguh merasa bersalah karna sudah berkata kasar pada Aisyah.
            Sesampai di rumah, aku sedang tidak ingin berbuat apa-apa hanya ingin menikmati empuknya kasur dan menatap langit-langit kamarku yang di penuhi dengan bintang jika lampunya dimatikan. Sungguh, Fahri sudah merusak moodku hari ini. Entah kenapa hatiku sakit, ketika Fahri berlaku kasar kepadaku. Ada setitik air yang mengalir dipipiku, kenapa bisa menangis hanya karna hal kecil seperti ini, ada apa dengan hatiku. Apa ada sesuatu hal yang tak aku sadari selama ini.
            Tadi aku sempat bertemu dengan Letna, kami sempat mengobrolkan banyak hal. Disalah satu kesempatan aku menanyakan tentang Fahri. Sebegitu penasarannya aku dengan sikap Fahri yang cepat berubah dalam hitungan detik. Letnapun sama denganku, dia tidak tau apa-apa dan hanya suka berteman dengan Fahri karna dia baik, ramah, dan sopan meskipun suka buat onar.
            Aku tak menyadari kalau aku tertidur setelah memikirkan semua yang aku bingungkan semalaman. Untungnya aku sedang dalam masa libur melaksanakan sholat, bunda juga tidak membangunkanku untuk makan malam. Mungkin, bunda tau jika aku sedang banyak pikiran. Karna bunda tau kalau aku tidak suka tidur sebelum magrib atau sesudah magrib.
            Hari ini, aku sedang tak ingin kemanapun. Aku hanya menjalani kuliah dan setelah itu pulang. Bicarapun aku iritkan untuk hari ini. Moodku sungguh tidak bagus. Sela dan Nia terus saja membujukku untuk mengikutinya ke kantin, padahal aku sudaah sangat nyaman dengan tempat duduk ini. Jikalau mereka tidak menyeretku ke kantin, mungkin aku tidak akan bertemu dengan seseorang yang membuat moodku hancur hari ini. Ya, bisa saja kita bertemu disini karna tempat ini sungguh strategis, sehingga jurusan teknik dan PGSD biasanya akan makan di sini. Banyak juga mahasiswa dari fakultas lain yang kesini, karna aku akui makanannya enak, sehat dan tidak menguras kantong, terutama bagi anak kos, yang lebih pentingnya lagi, ibu kantin sangat ramah dan murah hati.
            Seperti biasanya mereka berdua makannya selalu banyak, kami memang tipe orang yang tidak memikirkan penampilan dan bentuk gesture tubuh seperti yang wanita kebanyakan inginkan dan selalu memperhatikan setiap inci dari badannya agar terlihat perfect. Namun, bagi kami bertiga yang pantas untuk kami suguhkan keindahan badan kami hanya kedua orang tua kami dan calon suami kami kelak, yang terpenting sekarang kami harus sukses dan mencerdaskan anak bangsa.
            Hari demi hari terasa membosankan dan tak ada kegiatan yang terlalu berat untuk dikerjakan. Kemarin, ketika aku sedang mengajar di panti asuhan, ada salah satu murid yang menemukan sebuah notebook, ingin sekali rasanya membuka buku itu tapi aku tak tau apa yang akan terjadi setelah aku membukanya. Aku menyimpan notebook itu di dalam laci di bawah tempat buku belajarku. Karna keadaan santai di rumah, aku tergiurkan untuk membuka buku itu. Aku mengambil buku itu, dan membuka halaman pertamanya. Disana tertera nama seseorang yang tidak asing lagi bagiku, yaitu Fahri Maulana Malik Ahmad. Aku tidak tau kalau nama panjangnya sungguh bagus artinya. Aku memang teman satu SMP dengan Fahri namun beda kelas. Aku berfikir keras apakah harus aku buka atau tidak. Semua pemikiran yang sudah tidak terkontrol membuatku membukanya.
            Aku membaca setiap halaman yang tertulis dengan begitu rapinya. Sebuah untaian kata yang sungguh mengharukan, tanpa aku sadari air mataku sudah dari beberapa menit menitik tak henti. Ini terlalu indah untuk aku baca, aku menyadari sesuatu setelah ini. Ada ikatan batin yang terkait denganku dan Fahri. Betapa terlukanya Fahri selama ini, memendam perasaannya sendiri yang tak kunjung aku sadari kehadirannya di relung hatiku. Inilah sebabnya aku menolak semua orang dan hanya terus menunggu, dan benar saja rasaku yang hilang sudah terpenuhi dengan alunan bait yang tertera disini. Hatiku luluh begitu saja, karna pada hakikatnya aku juga mencintai Fahri sejak dulu, karna aku sadar bahwa dia terlalu sempurna untuk didekati. Allah punya rencana yang lebih baik untuk kami berdua, besok aku akan menemui Fahri dan berbicara baik-baik dengannya dan jujur dengan perasaanku sendiri kepadanya.
            Esoknya, matahari menyembul dari persembunyiannya, terlihat warna kuning bersih yang berpadu dengan langit yang biru, sangat manis. Aku menikmati keindahan itu di balkon rumah dan menikmati hawa embun pagi yang sungguh menyegarkan hidung untuk dihirup. Jadwa kuliahku hari ini diundurkan ke jam 10.00 karna dosen sedang ada acara dengan keluarganya.
            Pagi ini setelah menikmati hawa dipagi hari, aku berniat untuk pergi olahraga pagi, tadi aku sudah janjian dengan Peni, anak tetangga sebelah yang baru-baru lulus dari Sekolah Menengah Atas, katanya sih dia juga mau melanjutkan pendidikannya ke Universiatas Indonesia, namun dengan prodi yang berbeda denganku. Dia cukup ramah dengan siapapun, jika ada kesempatan dia pasti bermain di rumah dan bertanya soal UI kepadaku. Kemarin, dia cerita ingin mengambil jurusan yang sama denganku, namun ternyata orang tuanya tidak setuju, jadinya kemungkinn dia akan mengambil jurusan HI, karna bahasa inggrisnya cukup bagus dan dia juga bisa menggunakan bahasa hangul, yang biasa digunakan orang Korea. Aku sudah bertanya kepadanya, bagaimana bisa dia berbahasa Korea, namun dia hanya menjawab dia suka dan hobi dengan lagu dan kebudayaan korea, namun tidak dengan dramanya, karna korea termasuk Negara yang membuat drama tanpa sensor, jika di tayangkan di Indonesia maka akan di sensor agar budaya kita tak tercemar.
            Kami sudah 10 kali mengelilingi monas, kaki terasa seperti ingin patah karna terlalu capek. Kami memutuskan untuk beristirahat sejenak dan membeli air putih.
            Rasanya tidak sabar untuk bisa bertemu dengan Fahri dan menanyakan semuanya.
Akhirnya aku bisa bertemu dengan Fahri di dekat cafe sebelah kampus setelah selesai kuliah. Kami janjian kemarin, aku menghubunginya duluan karna tida mungkin dia akan menghubungiku terlebih dahulu, dan aku juga yakin kalau dia tidak menyimpan nomorku.
            Aku melihat sekeliling cafe ternyata dia masih suka mojok seperti dulu dan asyik dengan buku islaminya, dia memang nakal namun jangan diragukan masalah agama. Aku menghampirinya,”Assalamu’alaikum?”
“Wa’alaikumussalam, duduklah.” tawarnya
“Iya, terima kasih.” Aku membuka tas dan mengambil notebook yang ada di dalamnya.
“Ini, buku kamu”kataku sambil menyerahkan buku itu, “Kemarin aku dikasih sama adek di panti asuhan, milik kamu, kan? Maaf aku sudah membukanya, makanya aku tau kalau itu milikmu.” Jelasku.
“Jadi, kamu sudah membaca semua yang tertera di sini. Jadi bagaiman tanggapan kamu. Aku tidak suka berbasa-basi, maaf jika aku sudah menaruh harapan untuk bisa memilikimu.” Jelasnya sambil menunduk, dia sungguh orang yang tidak suka banyak bicara.
“Tidak apa-apa Fahri, karna kamu juga belum tau bagaimana perasaanku padamu. Ingin rasanya membalikkan waktu agar aku tau lebih dulu tentang semua hal ini.”
“Aku mencintaimu Aisyah, sungguh aku serius mencintaimu. Aku selalu memintamu di setiap sujudku. Kamu maukan menemaniku selama-lamanya?”
            Aku sungguh terkejut mendengar pengakuannya, apakah dia melamarku. Aku melihat dia mengeluarkan sebuah kotak yang berisikan cincin di kantong celananya. Sedetik kemudian air mataku mengalir karna bahagia, dan tidak menyangka akan terjadi secepat ini. Sungguh, janji Allah itu pasti, i believe that.
“Ya, Fahri aku juga mencintai kamu. Semoga kamu bisa membimbing aku menjadi lebih dari sebelumnya.”
“Aisyah, aku tidak bisa memasangkan cincin ini di jarimu, ini hanya sebagai pembuktian kalau aku memang benar-benar mencintaimu.”
“Iya Fahri, aku mengerti.”
Lima bulan berlalu...
            Banyak sekali yang halangan dan rintangan yang kami lalui bersama. Aku dan Fahri sama-sama menunggu kuliah kami selesai. Ayah dan bunda sudah setuju pernikahan kami berdua.
            Sudah beberapa bulan terakhir ini kami menyiapkan berbagai banyak hal yang akan digunakan ketika akad nikah berlangsung. Kami mengambil tema nuansa putih. Tinggal beberapa jam lagi kami akan reesmi menjadi suami istiri. Dengan balutan gaun pengantin yang mengulur sampai ke belakang sungguh pas di badanku, begitu juga dengan Fahri dengan jas putihnya dia terlihat sangat tampan, sungguh calon suamiku sangat tampan dari awal, dan dalam beberapa menit kedepan dia akan menjadi milikku seutuhnya. Begitupun Fahri yang menganggumi kecantikan dan pesona Aisyah yang menawan. Nikmat tuhan sungguh tidak bisa aku tebak. Kami berdua adalah insan yang tercipta dari tulang rusuk yang sama hanya saja dulu sudah dijauhkan dengan kuasanya dan dipertemukan kembali di acara saklar pernikahan antara kami berdua.
            Fahri sedang berjuang di depan penghulu untuk melakukan ijab qabul. Jantungku tak henti berdetak selagi menunggu Fahri selesai mengucapkan kalimat tersebut. Banyak sekali orang yang bersorak dan mengucapkan Alhamdulillah.
            Aku diiringi oleh Sela dan Nia, mereka berdua tidak kalah anggunnya denganku. Mereka terus saja mengusiliku selama berada di ruang tunggu. Namun, setidaknya rasa takutku menghilang dan digantikan dengan rasa bahagia yang tak bisa dibendung.
            Sekarang kami sudah disatukan oleh pencipta. Sejauh apapun kamu menjauh dan sepintar apapun kamu menyembunyikan rasa kamu akan tetap kembali padaku. Lakukanlah pertualangan dunia selagi kamu mencari jati diri kamu sendiri, maka pada hakikatnya kamu akan tetap kembali padaku. Beribu kilopun jauhnya kamu, hatiku siap menjangkau dan mengulurkan tangan jika kamu mendekat. Semua akan berjalan sesuai dengan skenario yang sudah digariskan sang pencipta. Jodohmu sudah terjamin, jangan sibuk menanyakan siapa yang pantas untukmu, namun perbaiki saja akhlakmu. Maka, itulah jodohmu.
                                                            -End-


           

           

6 komentar: