Kepada
Siapakah Hatiku diperuntukkan?
Jika ada orang yang selalu
memperhatikanmu,
apakah pantas kamu menaruh hati padanya?
Kini aku sudah memasuki usia yang sudah
meranjak dewasa, berpikir jauh untuk ke depannya tentang apa yang pantas untuk
aku lakukan kedepannya. Aisyah Permata Sari, salah satu mahasiswa di
Universitas Indonesia dengan jurusan Pendidikan Anak Usia Dini. Aku sangat
menyukai anak kecil, sangat menggemaskan dan sangat mudah diatur, hanya saja
kesabaran harus tetap terjaga dan stabil emosi yang selalu terkontrol baik.
Banyak sekali orang yang meremehkan jurusan yang satu ini karna tidak
mendapatkan gaji yang besar, pemikiran mereka harus diubah, mereka harus tau
bahwa guru itu adalah pembimbing, jasanya tak ada batasnya dan tak akan pernah
memandang suatu nilai dari banyak dan sedikitnya. Persepsi masyarakat sudah
terlalu jauh melampaui kehendaknya sendiri. Ayahku seorang tentara dan jarang
pulang, sekali pulang aku tak pernah melewatkan untuk tidak berbicara banyak
hal dengan Ayah, “Ayah, Aisyah kangen,” kataku sambil memeluknya erat. Karna
aku adalah anak tunggal disini, tapi aku selalu merasa kurang kasih sayang dari
kedua orang tuaku, mereka terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Ayah yang jarang
pulang dan Bunda yang selalu pulang malam karna pekerjaannya di kantor bank.
“Aisyah, Ayah juga
sangat kangen dengan putrinya ayah yang satu ini. Bagaimana kuliahnya, tidak
ada gejala apapunkan? Karna ayah tidak bisa memantau kegiatanmu setiap hari,
Ayah sibuk bekerja.” kata Ayahku sambil menunduk dan menggenggam tanganku.
“Ayah jangan khawatir,
semuanya baik-baik saja, jika ada sesuatu pasti Aisyah akan menelpon Ayah. Aku
juga tidak takut kepada siapapun, bunda dan ayah selalu mengajariku tentang
yang paling harus kita takutkan adalah hanya pencipta kita, yaitu Allah Swt. Ya
kan, yah?” kataku sambil membalas tangan ayah.
Mereka berdua adalah madrasah pertama yang mengajariku
tentang agama, mana yang baik dan yang benar. Sungguh, bagaimanakah akan aku
ucapkan rasa syukurku kepadanya. Ini sudah dari cukup, aku hanya perlu
bersyukur dan menjalani seperti apa yang engkau skenariokan.
“Putri ayah sudah besar
sekarang, tambah cantik dengan balutan jilbab yang kamu kenakan sekarang.
Betapa bersyukurnya aku diberi anak yang baik lagi penurut kepada orang tuanya.
Terima kasih anakku karna sudah tumbuh menjadi seseorang yang bapak banggakan.
Kapan mau tidur, sudah jam 10.30, besok mau pergi ngajarkan ke panti asuhan?”
disanjung seperti itu membuatku tidak tahanan menitikkan air mata mendengar
ayah yang bicara begitu. Aku juga bersyukur sudah menjadi anak ayah dan bunda.”
“Baiklah ayah, Aisyah
tidur dulu. Ayah, tetap jaga kesehatannya, makan yang teratur, dan Aisyah
sayang Ayah dan Bunda.” pamitku, setelah mencium mereka berdua dan memeluknya
erat sebelum pergi ke kamar. Malam yang panjang bersama orang yang tersayang,
cukup hadirkan saja orang tuaku maka aku akan sangat bahagia meski hanya
beberapa jam.
Matahari hari pagi
sudah menyembur dari peristirahatnnya. Kuning bercampur langit yang biru memang
sangat sepadan untuk menggambarkan bagaimana indahnya langit. Subuh tadi, ayah
sudah berangkat kembali ke Jombang untuk melakukan tugasnya sebagai tentara
penjaga perbatasan. Kini hanya kami bertiga bersama bunda dan bibik Imah,
pekerja rumah tangga di rumah ini. Dia juga yang selalu menemaniku disaat aku
sendiri, terkadang juga temanku Nia Armadani dan Sela Pratista sering
berkunjung ke sini untuk sekedar numpang tidur dan makan disini sehabis itu
pergi. Jika bunda sempat masak, maka biasanya bunda yang selalu membuatkan nasi
goreng. Sebenarnya aku juga bisa masak, tapi jarang aku lakukan kecuali hari
minggu, biasanya aku belajar dengan bibik Imah cara memasak. Bunda datang dari
kamarnya sambil menguap, “Bunda, mari sarapan bareng.” Dia hanya mengangguk dan
duduk.
Dia bertanya, “Mau ngajar les hari ini?”
“Iya bunda, seperti biasa jika hari kamis maka Aisyah akan
pergi ngajar ke panti asuhan, karna disana masih kekurangan guru pengajar.”
Jelasku
“Iya, nak.” Jawabnya seadanya, mungkin bunda kelelahan
darii suaranya saja yang parau karna kurang tidur. Aku sempat merasa kasihan
dengan bunda, ingin sekali melihat bundaa diam di rumah saja tanpa kerja, karna
sudah ada ayah yang bekerja. Tapi, sudah aku tanyakan semuanya kepada bunda,
namun ia selalu menjawab, “Bunda tidak bisa berhenti, ini juga sebagai biaya
kuliahmu untuk ke depannya, kita tidak harus mengandalkan ayahmu saja. Bunda
juga masih sehat dan masih punya tenaga yang banyak untuk bekerja, Aisyah
mengertilah ini semua untukmu, nak.”
Haruskah aku selalu diam, kadang aku juga membutuhkan
kasih sayang kalian. Tapi kalian terlalu sibuk dengan pekerjaan kalian
masing-masing. Aku sangat pandai menyembunyikan
masalah jika memang sudah kuat aku akan menangis di dalam kamar mandi
sendiri, agar bibik Imah tidak mendengar suara tangisku. Selalu merutuki diri
sendiri adalah hal yang selalu aku lakukan. Lama-kelamaan aku mulai terbiasa
dengan kehadiran kalian di rumah ini meski aku menginginkan kalian ada untukku
setiap saat.
“Bunda, Aisyah berangat
mengajar dulu,ya” Pamitku, setelah selesai sarapan.
“Iya Aisyah, jangan
pulang terlambat.” Katanya sambil mencium kedua pipiku.
Jalanan pagi ini cukup ramai, karena kegiatan mengajar
masih berlangsung sampai sabtu. Banyak mobil dan orang yang berlalu lalang di
jalanan, mereka terlihat sibuk dengan urusannya masing-masing. Sudah beberapa
menit aku menunggu di termina menungu angkutan umum datang, namun masih belum
kelihatan. Tiba-tiba ada sebuah mobil bewarna merah berhenti tepat di depan
tempat aku berdiri. Dia membuka kaca mobilnya sambil berkata, “Aisyah ya? Ayo
ikut. Mau ke pergi ke panti asuhan kan buat mengajar.” Tawarnya, aku cukup
terkejut karna dia tau aku mau kemana. Bukannya menjawab tapi aku menanya
balik, “Siapa ya, dari mana kamu tau saya mau pergii ke panti asuhan?”
Dia hanya tersenyum sambil mengulurkan tangannya, “Saya
Letna, salah satu pengasuh juga di panti asuhan tersebut. Saya sering melihat
amu disana, makanya sekarang saya tau kalau kamu juga salah satu pengajar
disana.” Jelasnya. “Jadi ikutkan?” lanjutnya
Aku diam sejenak memikirkan apakah aku akan ikut
dengannya karna melihat kondisi yang begitu ramai dan kendaraan yang sulit
untuk bisa pergi kesana. Ada baiknya juga kalau aku ikut, dia juga kelihatan
seperti orang baik dan tidak akan berbuat yang tidak-tidak.
“Tapi tidak apa-apa
jika saya ikut? Apakah itu tidak mengganggu, hanya kita berdua di dalam mobil
ini,” jawabku
Dia meyakinkan aku agar tidak usah khawatir tentang hal
itu, “Saya tidak akan berbuat macam-macam dengan kamu, niat saya hanya member
tumpangan saja. Ayok naik.” Suruhnya.
Akhirnya aku diantarkan oleh Letna ke panti asuhan. Di
dalam mobil, kami hanya diam saja karna tidak tau harus bicara apa. Untung saja
dia bisa peka kalau aku tidak nyaman dengan kondisi diam seperti ini. “Kamu
ambil jurusan PGSD di Universitas Indonesia, kan?” Tanyanya.
Aku menjawab “Iya,
darimana kamu tau?”
“Saya sering melihat
kamu di Fakultas tersebut. Saya juga salah satu mahasiswa disana namun dengan
jurusan yang berbeda, saya di jurusan Teknik. Kita satu atap namun ta pernah
saling melihat maupuun saling menyapa.” Katanya
Banyak sekali hal yang
kami bicarakan selama perjalanan ke panti asuhan. Tanggapan pertamaku
terhadapnya adalah dia ramah dan asyik
dilawan bicara.
Ketika sedang mengajar tiba-tiba handphoneku berbunyi
yang menandakan adanya panggilan masuk, ternyata itu dari temanku yaitu Sela.
Tumben dia nelpon, biasanya kalau ada sesuatu langsung ke rumah dan cerita.
Daripada memikirkan itu semua leih baik aku angkat telponnya terlebih dahulu,
pikirku.
“Assalamu’alaikum Sela,
ada apa?” sapaku dibalik telpon
“Wa’alaikumussalam
Aisyah, kamu lagi dimana sekarang? Ada berita buruk yang terjadi pada Nia.”
Katanya
“Innalillah, apa yang
terjadi, coba jelaskan sedetail-detailnya agar aku tidak berfikir terlalu jauh.”
Sanggahku, karna aku terlalu terkejut mendengarkan berita itu.
“Nia
kecelakaan ketika pergi liburan bersama pacarnya, sekarang kami sedang di rumah
sakit Pelita. Kondisi Nia tidak terlalu parah, tapi dia tidak sadarkan diri dari
tadi, kemungkinan dia syok.” jelasnya. “Cepat kesini ya, Aisyah. Aku akn
menunggumu.” sambungnya.
Sudah aku duga pasti akan terjadi hal-hal yang seperti
ini ketika kita sebagai wanita tidak bisa menjaga martabat kita sendiri di
depan laki-laki, sudah berapa kali aku memeringati Nia agar tidak pacaran,
namun semua perkataanku tak pernah sama sekali dia gubris. Dia hanya megangguk
dan bergumam tak jelas saat aku memperingatinya.
Setelah izin kepada pembina panti asuhan, aku langsung
mencari ojek untuk pergi ke rumah sakit. Saat ini aku sungguh panik, karna Sela
dan Nia sudh aku anggap seperti keluargaku sendiri. Aku sungguh takut jika
terjadi sesuatu pada Nia. Sebelum ke sini aku sudah menelpon bunda, bahwa aku
akan terlambat pulang karena Nia sedang dirawat di rumah sakit, untunglah bunda
bisa mengerti, karna bunda juga tau kalau Nia adalah temanku yang sering datang
ke rumah dan menemaniku jika bunda sedang sangat sibuk di kantornya. Kat bunda
juga di akan menyusul nanti kalau pekerjaannya sudaah selesai.
Sesampai di rumah sakit, aku langsung berlari dan mencari
Sela. Untung saja Sela sudah mengirimkan detail tempatnya sekarang. Aku melihat
Sela dan Ibunya Nia saling berpelukkan. Aku tau kalau sekarang ibunya Nia akan
sangat khawatir tentang keadaaan anaknya yang sedang berjuang melawan rasa
sakit dan takdir di dalam ruang UGD.
“Assalamu’alaikum.
Bagaimana keadaan Nia, Sela? Apakah ada perkembangan?” Tanyaku setelah tiba
disana.
Sela melirikku dan hanya menjawab salam, tanpa menjawab
pertanyaanku. Sungguh saat itu, suasana sangat tidak mendukung. Yang terdengar
hanya suara isak tangis dari ibunya Nia. Aku tau bagaimana perasaan ibu Nia
sekarang. Aku tak bisa bertanya terlalu jauh karna sungguh ini tidak mendukung
untuk melibatkan pertanyaan yang aku keluarkan. Untuk saat ini, kami masih
menunggu dokter keluar dari ruangan untuk member tau kondisi Nia yang
sebenarnya.
Tidak terasa 10 menit lebih kami menunggu dokter keluar.
Akhirnya, dokter keluar dan memberitau informasi terkini tentang kondisi Nia.
“Apakah kalian keluarga
pasien?” tanyanya setelah keluar dari ruangan. Kami hanya mengangguk, “Begini,
tentang kondisi pasien. Dia tidak terlalu parah hanya saja terjadi pendarahan di
bagian kepala. Dia juga syok sesaat sehingga dia masih tidak sadarkan diri
sampai sekarang. Tunggu saja, beberapa menit pasti dia akan sadar.” Jelasnya
kepada kami
Aku bertanya,”Dokter,
apakah boleh kita masuk ke dalam melihat kondisinya?”
“Iya silahkan saja.
Tapi, pasien akan dipindahkan terlebih dahulu ke ruang perawatan agar mudah di
jenguk oleh siapapun.” Jawabnya, setelah itu dia permisi untuk mengurus pasien
lain.
Setelah beberapa jam kemudian, Nia membuka matanya.
Lantas itu membuat kita berdua menghampirinya. Karna ibunya Nia sedang pulang
untuk mengambil beberapa pakaian untuk beberapa hari menginap disana.
Setelah beberapa hari Nia di rumah sakit, biasanya
sepulang kuliah aku selalu menjenguknya. Setiap hari kondisi Nia semakin
membaik dan hari ini kata dokter Nia boleh dipulangkan. Aku, Sela, dan ibunya
merapikan barang-barang yang akan dibawa pulang.
Setelah sampai di rumahnya Nia, kami beristirahat sejenak
karna perjalanan jauh yang ditempuh dari rumah sakit ke rumah ini.
“Kalian mau minum apa?” tawar ibu
Kami terbangun dari sofa di balik ruang tamu rumah Nia,
“Tidak usah ibu, nanti kami ambil sendiri jika sedang ingin minum.”
Jam telah menunjukan 10.30, aku izin pamit duluan ke
ibunya Nia karna ada kelas mengajar di panti asuhan. Dengan berat hati aku
meninggalkan Nia, padahal aku sangat ingin lebih banyak menghabiskan waktu di
rumah Nia dan berbagi banyak cerita dengan Sela dan Nia.
Aku lupa bahwa ada sesuatu hal yang tak pernah aku
ceritakan kemereka berdua yaitu masalah tentang akhir-akhir ini aku dekat
dengan salah satu pengajar di panti asuhan, yaitu Letna. Begitu banyak hal yang
ingin aku pastikan, bahwa hatiku mulai nyaman dengan Letna. Aku tak yakin, aku
takut menyalahi aturan di keluargaku sendiri karna dekat dengaan seorang yang
bukan muhrimku.
Aktifitas mengajar akhir-akhir ini sungguh sangat
menyenangkan karna banyak sekali perkembangan dari adek-adek yang
diperlihatkan. Bacaan Al-Qur’an sudah fasih, penghafalan perkalian sudah
meningkat sampai perkalian lima, ini adalah awal yang bagus untuk menuju
sempurna.
Banyak sekali tugas yang diberikan oleh dosen, aku tak
punya waktu luang untuk berbicara dengan orang terdekatku. Sepulang kuliah aku
disibukkan dengan beberapa bacaan yang akan digunakan untuk presentasi
besoknya. Aku mengambil cuti mengajar di panti asuhan karna aku tak kuat
menahan lelah dan kantuk jika hal itu terjadi. Sepulang sekolah, aku hanya
numpang makan dan tidur saja dirumah.Waktu tidurku begitu singkat rasanya
Kali ini aku akan mengikuti kuis, sayangnya ada yang
terjadi di kampus sebelah. Aksi laga fakultas hukum dan teknik tak
henti-hentinya. Sudah banyak sekali fasilitas yang mereka rusak, tak pernah
berfikir bahwa banyak sekali kerugian yang terjadi akibat ulah kedua fakultas tersebut.
Pada saat kerusuhan terjadi, aku tak sengaja sedang jalan
diantara mereka. Rasa takut, menghampiriku, aku terus saja berfikir
bahwa aku tak akan selamat jika aku terus berada di tengah kerusuhan ini.
Banyak sekali pecahan kaca, ban mobil yang terbakar, asap bertebaran
dimana-mana. Sungguh hari yang menyebalkan.
Seketika, ada sesuatu yang mengalir di bagian samping
kepalaku, ternyata itu darah. Aku tak sadar jika aku terkena lemparan batu dari
mahasiswa yang membuat kerusuhan. Diseperkian menitnya, ada yang menjanggal di
pengelihatanku, kabur. Pusing menghantui kepala ini. Aku tak sadar siapa yang
menolongku saat itu. Aku hanya mendengar ada yang memanggil namaku Aisyah...Aisyah...sadarlah.
Perlahan matanya terbuka, Letna sungguh khawatir dengan
kondisi Aisyah. Dia sungguh pucat layaknya mayit. Dan yang membuat Letna kesal
dari tadi bahwa Fikri terus saja mengoceh tak jelas dan menyuruh Letna untuk
meninggalkan Aisyah sendiri disini. Fahri ini adalah teman satu angkatan dengan
Letna, dia adalah ketua geng dari kerusuhan yang terjadi. Untung saja, Aisyah
tidak mengunci hp-nya jadi dengan mudah Letna dapat membuka dan menghubungi
orang tua Aisyah. Ada nada ketakutan yang dikeluarkan dari suara ibunya
Aisyah. Sungguh Aisyah adalah anak yang disayang oleh kedua oarng tuanya.
“Aku dimana?” erangku. Yang pertama aku lihat setelah
bangun adalah, warna putih yang mendominasi di sekitaran ruangan yang aku
gunakan, lebih anehnya bau ini sudah tidak asing lagi dipeciumanku.
“Kamu di rumah sakit, Aisyah. Tadi kamu pingsan dan kami
bawa kesini. Kamu sudah agak baikan, ya?” tanya Letna.
Aku tak berniat menjawab pertanyaannya, aku hanya
mengangguk karna kepalaku saat ini sungguh pusing memikirkan sesuatu yang
terjadi beberapa jam yang lalu.
Sungguh bau rumah sakit membuatku muak untuk terus
berlama-lama di sini. Beberapa jam yang lalu Bunda sudah ada disini menemaniku,
dan yang lebih anehnya, Letna tidak pergi meski bunda ada disini. Mereka
terlihat asyik berbicara, terdengar bahwa bunda sudah berapa kali mengucapkan
terima kasih kepada Letna. Sebenarnya aku sedkit risih dengan kehadiran Letna
yang berusaha dekat dengan orang tuaku.
Dua hari satu malam aku berada di rumah sakit, akhirnya
sore ini aku boleh pulang ke rumah. Menikmati bau rumah yang khas, masakan ibu
yang enak, kasur yang empuk untuk tidur, memikirkannya saja membuatku sangat
bahagia dengan enaknya di rumah. Rumah adalah syurga kasih sayang yang
dititpkan pencipta kepadaku. Menyiapkan beberapa pakaian yang sudah digunakan
selama di rumah sakit. Hari ini ayah juga mengambi cuti karna dia akan
menjeputku bersama bunda di rumah sakit. Teman-temanku, Sela dan Nia selalu ada
selama aku sakit, meskipun aku tau bahwaNia juga dalam kondisi yang kurang
baik.
“Akhirnya, bidadarinya keluar juga dari rumah sakit,”
kata Sela setelah sampai di sini.
Aku hanya tersenyum
malu mendengar perkataan Sela, karna dia sangat berlebihan. Selang beberapa
menit ternyata, ayah menelpon bahwa dia tidak jadi menjemput karna ada rapat
mendesak yng harus diikuti olehnya, karna pada hakikatnya ayah adalah seorang
jenderal.
“Bunda, terus kita
pulang sama siapa kalau ayah tidak jadi jemput?” tanyaku. Sungguh aku sedikit
kecewa karna ayah tidak punya waktu untuk menemaniku hari ini. Ayah kemarin
sempat menginap semalam disini, di malam itu juga aku bisa merasakan tidur dipangkuan
ayah setelah sekian lama, setelah terbangunpun aku tak menemuka siapapun. Ayah
pergi tanpa pamit terlebih dahulu kepadaku, tapi bunda sudah menjelaskan bahwa
ayah ada kegiatan di posko.
Bunda terlihat sibuk
dengan telponnya ketika aku tanya, setelah selesai dia sedikitpun tak
menggubris keluh kesahku, saat ini sungguh aku seperti anak kecil. Di depan
rumah sakit ternyata udah terpakir sebuah mobil yang tak asing bagiku, dan
ternyata benar kalau itu mobilnya Letna. Ternyata ini yang disibukkan oleh bunda
dari tadi, ternyata dia menghubungi
Letna untuk menjemput kami di rumah sakit.
Di dalam mobil, aku tak
sedkitpun membuka mulut untuk berbicara meskipun kedua teman usilku ini selalu
menyenggolku dengan siku-sikunya. Aku terus saja menunduk karna aku tau kalau
Letna sedang memandangiu melalui kaca spion yang ditaruh untuk melihat kondisi
mobil yang ada di belakang. Risih, rasa tak sukapun muncul untuk saat ini,
meskipun aku mengagumi Letna sebenarnya, namun dipandang seintens itu siapa
yang tidak risih dengan perbuatannya.
Akhirnya, kami bisa
pulang dengan aman dan tidak terjadi kemancetan sama sekali di jalan. Syurgaku
ada di sini, di rumahku sendiri. Di sini aku bisa bermonolog, melakukann segala
hal yanng aku mau tanpa ada batasnya asalkan tidak berlebihan.
Tak ingin mengabiskan
waktu terlalu lama di bawah, aku izin ke bunda kalau aku akan naik ke kamar dan
berisitirahat sejenak. Tidak lupa Sela dan Nia juga ikut membimbingku ke kamar.
Sudah aku duga kalau mereka berdua akan bertanya banyak tentang Letna, tentang
gimana aku bisa bertemu dan kenal dengan Letna. Mereka berdua menambah banyak
pikiran aku saja. Namun, bukan berarti aku tidak menjawab pertanyaan yang
mereka lontarkan untukku karna rasa penasaran mereka terhadap sosok yang ada di
lantai bawah sekarang dan sedang mengobrol dengan bunda di sana.
“Aisyah, bagaimana kamu
bisa kenal dengan cowok seganteng dan sebaik dia,”
“Aisyah apakah
sedikitpun kamu tidak merasakan bahwa dia menyukai kamu, aku melihatnya dari
tatapannya ke kamu, ayoklah Aisyah jujur saja kami akan membantumu.”
“Perasaan aku pernah
melihatnya, tapi dimana ya? Ah, itu tidak pentig yang penting sekarang
penjelasan dari kamu.”
Tak sedkitpun kalimat keluar dari mulutku karna mereka
sungguh cerewet dan tak membiarkan aku menjawab pertanyaannya, padahal mereka
sangat ingin tau apa ada hal sesuatu di balik semua ini.
“Sudah selesai bicara
kalian berdua, padahal kalian berdua ingin tau, tapi seakan-akan kalian tau
semuanya, kalian terlalu pintar berimajinasi terlalu jauh tentang semua ini,
dengarkan aku baik- baik,” timpalku setelah mereka diam. Mereka tidak menjawab
hanya mengangguk dan membenarkan tempat duduknya.
“Letna adalah salah
satu guru juga yang mengajar di panti asuhan tempat aku mengajar. Aku kenal dia
saat aku mau pergi mengajar ke panti asuhan, karna tidak ada ojek ataupun
angkutan umum yang menuju kesana, tiba-tiba dia datang dan memanggil namaku,
siapa yang tidak terkejut dengan itu, karna pada hakikatnya aku tak mengenal
dia,” dengan susah payah dan panjang lebar aku jelaskan kepada mereka, namun
mereka tetap saja berfikir seperti mindsetnya masing-masing. Untung teman,
kalau tidak sudah aku buang ke laut.
Syukurlah hari ini aku sudah bisa masuk kuliah seperti
biasa. Aku sangat merindukan teman-teman di kelas, terutama keributan dari Sela
dan Hito yang terus saja bertengkar masalah jodoh, Sela memang tipe orang yang
mudah bergaul dengan siapapun, dia tak memandang ras dan apapun itu. Meskipun
dia berbeda agama dengan kami berdua, dia tetap menghargai kami dan selalu mengingatkan
kami waktu sholat. Bukankah ini yang namanya Toleransi? Kita terlalu
naïf, hanya karna beda agama yang akan membuat kita tidak akur di Indonesia
ini, karna kita tau kalau Indonesia adalah Negara yang memiliki lebih dari dua
agama.
Hari ini adalah hari terbaik, dimana kami menghabiskan
banyak waktu bersama teman-teman. Makan bareng, menceritakan semua hal yang
terjadi selama aku libur masuk kuliah, dan saling mengoda satu sama lain.
Sepulang kuliah aku menyempatkan untuk berkunjung ke
panti asuhan, jujur aku sangat merindukan tingkah dari adek-adek disana. Aku
diantar oleh Sela kebetulan dia membawa mobil. Karna kondisiku masih belum
begitu fit, aku tak bisa naik ojek. Tadi pagi saja, bunda yang mengantarku
kuliah.
Mereka sibuk bermain sehingga tidak menyadari kehadiranku
disana, aku berniat menghampiri mereka, namun ternyata di balik tengah-tengah
kerumunan mereka ada Fahri, seorang perusuh di kampus teknik. Aku tak menyadarinya
kalau dia juga pencinta anak kecil, sungguh pengalaman yang langka bisa melihat
Fahri seperti ini. Aku memang memiliki rasa antisipatif terhadap Fahri dan
ingin membuatnya berubah seperti dulu lagi. Fahri adalah temanku saat aku SMA,
dia adalah seorang yang pendiam dan ramah terhadap siapapun, entah apa yang
membuat dia berubah secepat mata memejam.
Aku menghampirinya dan mengucapkan
salam,”Assalamu’alaikum, adek-adek?”
Mereka menjawab dengan serempak dan menuju kesini, hanya
untuk mencium tangan dan ada yang ingin dipeluk,”Kak Aisyah, kenapa lama sekali
tidak masuk untuk mengajarkan kami? Apa
kondisi kak Aisyah sudah membaik, kami dengar kakak sakit? Kami sungguh
merindukan kak Aisyah.” kata Laudya. Dia
adalah salah satu anak yang paling dekat denganku. Dia selalu menceritakan
berbagai hal tentang kegiatannya ketika aku tidak masuk untuk mengajar, karna
jadwal mengajarku disini hanya hari Kamis, Sabtu, dan Minggu. Aku menjawab
setiap pertanyaan dari mereka dan mendengarkan mereka bercerita balik tentang
aktifitasnya selama aku tidak masuk untuk mengajar. Aku tidak tau siapa yang
mengganti posisiku untuk mengajar selama aku libur. Aku teringat Fahri yang
masih berada di sana dan asyik bermain dengan anak-anak yang cowok, aku
berfikir tidak mungkinkan Fahri yang mengantikan posisiku sementara untuk
mengajar di sini.
“Oh iya..kak Aisyah mau
bertanya nih sama kalian?” mereka terdiam dan menanti apa yang akan aku
tanyakan, “Selama kakak tidak masuk, siapa yang menjadi guru pengganti kakak
untuk mengajarkan kalian selama beberapa minggu ini?”
“Oh itu, kak Aisyah
belum tau ya, kalau selama kakak tidak masuk kak Fahri lah yang mengantikan
kakak. Dia orangnya baik dan tampan juga, kan teman-teman?” jawab Meli
Mereka menjawab secara
bersamaan, mereka bilang kalau Fahri itu tampan, baik dan blalala. Sungguh
mereka sangat menggemaskan. Ternyata pemikiranku salah telah menilai Fahri
sampai sejauh itu. Inilah sebabnya kalau kita tidak boleh memandang seorang
dari luarnya saja dan menjudge mereka seenak jidat kalian.
Manusia diciptakan berbeda-beda, agar kita bisa saling
menghargai satu sama lain. Kita juga tidak dapat hidup tanpa bantuan dari orang
lain. Jangan pernah pikirkan ego semata yang akan membuat penyesalan di
akhirnya. Aku harus minta maaf kepada Fahri karna sudah berburuk sangka
kepadanya.
“Fahri, apa kamu punya
waktu, aku ingin bicara.” aku benar-benar ingin meminta maaf kepadanya, jika
dibiarkan maka aku akan terus merasa bersalah dan malu berada di depan Fahri
meskipun dia tidak tau masalah ini. Dia tidak menjawab, hanya saja dia agak
mejauh dari kerumunan anak-anak tadi.
“Apaan sih lo, ganggu
saja, mau bicara apa?” sinisnya. Dia berubah menjadi dirinya sendiri jika
bersama dengan orang yang dia kenal. Pintar sekali menyembunyikan topengnya..
“Kenapa kamu mengajar
di panti asuhan ini, bukankah kamu tidak punya peri kemanusiaan sedikitpun
terhadap siapapun? Namun, aku juga berterima kasih kepadamu karna sudah mau menggantikanku
mengajar disini, meskipun sementara, lamapun tak apa.”
“Bukan urusan lo, mau
gue ngajar di sini, dimanapun itu hak gue. Jangan terlalu banyak bertanya gue
tidak suka membahas hal yang tidak penting” dia pergi begitu saja, meninggalkan
aku sendiri disini yang masih penasaran tentang dirinya. Setelah beberapa
langkah dia berbalik,”Jangan berterima kasih ini gue lakukan bukan untuk lo,
Ingat ini.”aku hanya bengong mendengarkan kalimat terakhirnya. Ingin sekali
rasanya, aku banting ke planet lain, karna dia sama sekali tidak pantas hidup
di dunia ini.
Notebook:
Aisyah andai kamu tau kalau aku
mencintaimu, menyayangi kamu lebih dari diriku sendiri. Tapi, kenapa kamu tak
pernah menoleh sedikitpun untuk menatap ke arahku. Ini sudah lama sekali
terpendam, sampai kamu kembali lagi dikehidupanku. Sedikitpun kamu tidak
berubah, kamu masih sama seperti dulu, baik dan penyayang anak kecil. Aku
menyukai kamu yang penuh dengan kesederhanaan meskipun aku tau kalau kamu dari
keluarga yang berada. Ingin sekali aku berteriak di depan mukamu kalau disini
ada aku yang sedang menantimu, yang masih dengan rasa yang sama. Aku berubah
karna kamu terlalu sulit untuk aku dapatkan. Berbagai cara untuk melupakanmu
sudah aku lakukan Aisyah, namun sedikitpun tidak berhasil.
Sekarang Fahri sedang duduk dibawah pohon rindang, untuk menenangkan
pikirannya, karna dia sungguh merasa bersalah karna sudah berkata kasar pada
Aisyah.
Sesampai di rumah, aku sedang tidak ingin berbuat apa-apa
hanya ingin menikmati empuknya kasur dan menatap langit-langit kamarku yang di
penuhi dengan bintang jika lampunya dimatikan. Sungguh, Fahri sudah merusak
moodku hari ini. Entah kenapa hatiku sakit, ketika Fahri berlaku kasar
kepadaku. Ada setitik air yang mengalir dipipiku, kenapa bisa menangis hanya
karna hal kecil seperti ini, ada apa dengan hatiku. Apa ada sesuatu hal yang
tak aku sadari selama ini.
Tadi aku sempat bertemu dengan Letna, kami sempat
mengobrolkan banyak hal. Disalah satu kesempatan aku menanyakan tentang Fahri.
Sebegitu penasarannya aku dengan sikap Fahri yang cepat berubah dalam hitungan
detik. Letnapun sama denganku, dia tidak tau apa-apa dan hanya suka berteman
dengan Fahri karna dia baik, ramah, dan sopan meskipun suka buat onar.
Aku tak menyadari kalau aku tertidur setelah memikirkan
semua yang aku bingungkan semalaman. Untungnya aku sedang dalam masa libur
melaksanakan sholat, bunda juga tidak membangunkanku untuk makan malam.
Mungkin, bunda tau jika aku sedang banyak pikiran. Karna bunda tau kalau aku
tidak suka tidur sebelum magrib atau sesudah magrib.
Hari ini, aku sedang tak ingin kemanapun. Aku hanya menjalani
kuliah dan setelah itu pulang. Bicarapun aku iritkan untuk hari ini. Moodku
sungguh tidak bagus. Sela dan Nia terus saja membujukku untuk mengikutinya ke
kantin, padahal aku sudaah sangat nyaman dengan tempat duduk ini. Jikalau
mereka tidak menyeretku ke kantin, mungkin aku tidak akan bertemu dengan
seseorang yang membuat moodku hancur hari ini. Ya, bisa saja kita bertemu
disini karna tempat ini sungguh strategis, sehingga jurusan teknik dan PGSD
biasanya akan makan di sini. Banyak juga mahasiswa dari fakultas lain yang
kesini, karna aku akui makanannya enak, sehat dan tidak menguras kantong,
terutama bagi anak kos, yang lebih pentingnya lagi, ibu kantin sangat ramah dan
murah hati.
Seperti biasanya mereka berdua makannya selalu banyak,
kami memang tipe orang yang tidak memikirkan penampilan dan bentuk gesture tubuh
seperti yang wanita kebanyakan inginkan dan selalu memperhatikan setiap inci
dari badannya agar terlihat perfect. Namun, bagi kami bertiga yang pantas untuk
kami suguhkan keindahan badan kami hanya kedua orang tua kami dan calon suami
kami kelak, yang terpenting sekarang kami harus sukses dan mencerdaskan anak
bangsa.
Hari demi hari terasa membosankan dan tak ada kegiatan
yang terlalu berat untuk dikerjakan. Kemarin, ketika aku sedang mengajar di
panti asuhan, ada salah satu murid yang menemukan sebuah notebook, ingin sekali
rasanya membuka buku itu tapi aku tak tau apa yang akan terjadi setelah aku
membukanya. Aku menyimpan notebook itu di dalam laci di bawah tempat buku
belajarku. Karna keadaan santai di rumah, aku tergiurkan untuk membuka buku
itu. Aku mengambil buku itu, dan membuka halaman pertamanya. Disana tertera
nama seseorang yang tidak asing lagi bagiku, yaitu Fahri Maulana Malik Ahmad.
Aku tidak tau kalau nama panjangnya sungguh bagus artinya. Aku memang teman
satu SMP dengan Fahri namun beda kelas. Aku berfikir keras apakah harus aku
buka atau tidak. Semua pemikiran yang sudah tidak terkontrol membuatku
membukanya.
Aku membaca setiap halaman yang tertulis dengan begitu
rapinya. Sebuah untaian kata yang sungguh mengharukan, tanpa aku sadari air
mataku sudah dari beberapa menit menitik tak henti. Ini terlalu indah untuk aku
baca, aku menyadari sesuatu setelah ini. Ada ikatan batin yang terkait denganku
dan Fahri. Betapa terlukanya Fahri selama ini, memendam perasaannya sendiri
yang tak kunjung aku sadari kehadirannya di relung hatiku. Inilah sebabnya aku
menolak semua orang dan hanya terus menunggu, dan benar saja rasaku yang hilang
sudah terpenuhi dengan alunan bait yang tertera disini. Hatiku luluh begitu
saja, karna pada hakikatnya aku juga mencintai Fahri sejak dulu, karna aku
sadar bahwa dia terlalu sempurna untuk didekati. Allah punya rencana yang lebih
baik untuk kami berdua, besok aku akan menemui Fahri dan berbicara baik-baik
dengannya dan jujur dengan perasaanku sendiri kepadanya.
Esoknya, matahari menyembul dari persembunyiannya,
terlihat warna kuning bersih yang berpadu dengan langit yang biru, sangat
manis. Aku menikmati keindahan itu di balkon rumah dan menikmati hawa embun
pagi yang sungguh menyegarkan hidung untuk dihirup. Jadwa kuliahku hari ini
diundurkan ke jam 10.00 karna dosen sedang ada acara dengan keluarganya.
Pagi ini setelah menikmati hawa dipagi hari, aku berniat
untuk pergi olahraga pagi, tadi aku sudah janjian dengan Peni, anak tetangga
sebelah yang baru-baru lulus dari Sekolah Menengah Atas, katanya sih dia juga
mau melanjutkan pendidikannya ke Universiatas Indonesia, namun dengan prodi
yang berbeda denganku. Dia cukup ramah dengan siapapun, jika ada kesempatan dia
pasti bermain di rumah dan bertanya soal UI kepadaku. Kemarin, dia cerita ingin
mengambil jurusan yang sama denganku, namun ternyata orang tuanya tidak setuju,
jadinya kemungkinn dia akan mengambil jurusan HI, karna bahasa inggrisnya cukup
bagus dan dia juga bisa menggunakan bahasa hangul, yang biasa digunakan orang
Korea. Aku sudah bertanya kepadanya, bagaimana bisa dia berbahasa Korea, namun
dia hanya menjawab dia suka dan hobi dengan lagu dan kebudayaan korea, namun
tidak dengan dramanya, karna korea termasuk Negara yang membuat drama tanpa
sensor, jika di tayangkan di Indonesia maka akan di sensor agar budaya kita tak
tercemar.
Kami sudah 10 kali mengelilingi monas, kaki terasa
seperti ingin patah karna terlalu capek. Kami memutuskan untuk beristirahat
sejenak dan membeli air putih.
Rasanya tidak sabar untuk bisa bertemu dengan Fahri dan
menanyakan semuanya.
Akhirnya aku bisa
bertemu dengan Fahri di dekat cafe sebelah kampus setelah selesai kuliah. Kami
janjian kemarin, aku menghubunginya duluan karna tida mungkin dia akan
menghubungiku terlebih dahulu, dan aku juga yakin kalau dia tidak menyimpan
nomorku.
Aku melihat sekeliling cafe ternyata dia masih suka mojok
seperti dulu dan asyik dengan buku islaminya, dia memang nakal namun jangan
diragukan masalah agama. Aku menghampirinya,”Assalamu’alaikum?”
“Wa’alaikumussalam,
duduklah.” tawarnya
“Iya, terima kasih.”
Aku membuka tas dan mengambil notebook yang ada di dalamnya.
“Ini, buku kamu”kataku
sambil menyerahkan buku itu, “Kemarin aku dikasih sama adek di panti asuhan,
milik kamu, kan? Maaf aku sudah membukanya, makanya aku tau kalau itu milikmu.”
Jelasku.
“Jadi, kamu sudah
membaca semua yang tertera di sini. Jadi bagaiman tanggapan kamu. Aku tidak
suka berbasa-basi, maaf jika aku sudah menaruh harapan untuk bisa memilikimu.”
Jelasnya sambil menunduk, dia sungguh orang yang tidak suka banyak bicara.
“Tidak apa-apa Fahri,
karna kamu juga belum tau bagaimana perasaanku padamu. Ingin rasanya
membalikkan waktu agar aku tau lebih dulu tentang semua hal ini.”
“Aku mencintaimu
Aisyah, sungguh aku serius mencintaimu. Aku selalu memintamu di setiap sujudku.
Kamu maukan menemaniku selama-lamanya?”
Aku sungguh terkejut mendengar pengakuannya, apakah dia
melamarku. Aku melihat dia mengeluarkan sebuah kotak yang berisikan cincin di
kantong celananya. Sedetik kemudian air mataku mengalir karna bahagia, dan
tidak menyangka akan terjadi secepat ini. Sungguh, janji Allah itu pasti, i
believe that.
“Ya, Fahri aku juga
mencintai kamu. Semoga kamu bisa membimbing aku menjadi lebih dari sebelumnya.”
“Aisyah, aku tidak bisa
memasangkan cincin ini di jarimu, ini hanya sebagai pembuktian kalau aku memang
benar-benar mencintaimu.”
“Iya Fahri, aku
mengerti.”
Lima bulan berlalu...
Banyak sekali yang halangan dan rintangan yang kami lalui
bersama. Aku dan Fahri sama-sama menunggu kuliah kami selesai. Ayah dan bunda
sudah setuju pernikahan kami berdua.
Sudah beberapa bulan terakhir ini kami menyiapkan
berbagai banyak hal yang akan digunakan ketika akad nikah berlangsung. Kami
mengambil tema nuansa putih. Tinggal beberapa jam lagi kami akan reesmi menjadi
suami istiri. Dengan balutan gaun pengantin yang mengulur sampai ke belakang
sungguh pas di badanku, begitu juga dengan Fahri dengan jas putihnya dia
terlihat sangat tampan, sungguh calon suamiku sangat tampan dari awal, dan
dalam beberapa menit kedepan dia akan menjadi milikku seutuhnya. Begitupun
Fahri yang menganggumi kecantikan dan pesona Aisyah yang menawan. Nikmat tuhan
sungguh tidak bisa aku tebak. Kami berdua adalah insan yang tercipta dari
tulang rusuk yang sama hanya saja dulu sudah dijauhkan dengan kuasanya dan dipertemukan
kembali di acara saklar pernikahan antara kami berdua.
Fahri sedang berjuang di depan penghulu untuk melakukan
ijab qabul. Jantungku tak henti berdetak selagi menunggu Fahri selesai
mengucapkan kalimat tersebut. Banyak sekali orang yang bersorak dan mengucapkan
Alhamdulillah.
Aku diiringi oleh Sela dan Nia, mereka berdua tidak kalah
anggunnya denganku. Mereka terus saja mengusiliku selama berada di ruang
tunggu. Namun, setidaknya rasa takutku menghilang dan digantikan dengan rasa
bahagia yang tak bisa dibendung.
Sekarang kami sudah disatukan oleh pencipta. Sejauh
apapun kamu menjauh dan sepintar apapun kamu menyembunyikan rasa kamu akan
tetap kembali padaku. Lakukanlah pertualangan dunia selagi kamu mencari jati
diri kamu sendiri, maka pada hakikatnya kamu akan tetap kembali padaku. Beribu
kilopun jauhnya kamu, hatiku siap menjangkau dan mengulurkan tangan jika kamu
mendekat. Semua akan berjalan sesuai dengan skenario yang sudah digariskan sang
pencipta. Jodohmu sudah terjamin, jangan sibuk menanyakan siapa yang pantas
untukmu, namun perbaiki saja akhlakmu. Maka, itulah jodohmu.
-End-